Sehari di Tempat Pembuatan SIM

Ketika aku selesai solat subuh berjamaah, ayah mengajakku melihat-lihat ke luar rumah. Saat itu aku sudah resmi menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Ayah membelikan satu mobil untukku. Ada Toyota Swift warna abu-abu tua metalik di depan rumahku. Aku terkejut.

“Untuk kamu kuliah..” Kata ayah.

“Terimakasih ayah!” Ucapku senang sambil kupeluk dirinya.

“Aku harus buat SIM dulu kan ya yah?” Tanyaku sambil bercanda kepadanya.

“Iya dong, cantiknya ayah. Ini, kamu ke sana hari ini ya. Kalau bisa dari pagi. Ayah ibu mau menengok kerabat ayah yang di Bekasi dari pagi. Jadi nggak bisa mengantarkan kamu. Lagipula kamu sudah terbiasa naik angkutan umum dan di sana memang harus mengerjakan semuanya sendiri.” Jawab ayah panjang lebar, sambil memberikan selembar seratus ribuan kepadaku.

“Iya-iya. Nggak apa-apa, ayah ibu pergi aja. Alhamdulillah. Asiik.. berarti aku kuliah nanti ngga usah naik bus dan angkot lagi kayak SMA ya yah? Hehehe.” Kuterima uang dari ayah, sambil mengucap syukur kepada-Nya.

Aku pun mandi dan bersiap-siap. Lalu, bergegas pergi ke Kantor Polisi yang khusus menangani masalah pembuatan SIM. Kantor Polisi tersebut berada di daerah Kalideres. Letaknya cukup jauh dari rumahku yang terletak di bilangan Ciputat. Namun, aku masih bisa menggunakan kendaraan umum untuk pergi ke sana. Dengan uang pemberian ayah yang cukup, aku pun pergi ke sana.

Jam delapan tepat aku sampai di sana. Suasananya masih relatif sepi. Ketika memasuki kantor polisi tersebut, aku terkejut oleh banyaknya calo. Dengan sedikit memaksa, mereka menawarkan jasa.

“Saya bisa membantu agar anda cepat, karena saya kenal dengan atasannya.” Ujar salah satu dari mereka.

Akan tetapi, kedatanganku ke tempat ini tidak ingin membuat kantong habis, karena dari berita yang kudengar peran calo tidak bisa digunakan lagi. Dengan sedikit kasar aku menolak penawaran mereka.

Ketika aku masuk, aku melewati tempat parkir. Di sana masih belum banyak kendaraan-kendaraan yang ada. Baru beberapa motor dan mobil yang sudah parkir. Aku masuk melewati pintu depan. Terdapat beberapa petugas polisi sedang mengawasi antrian. Loket pendaftaran sudah dibuka. Antrian pun sudah mulai dipadati oleh pendaftar.
Aku pun mendaftar. Setelah mengisi formulir, aku disuruh memasuki ruangan untuk uji kesehatan. Beberapa dokter yang menguji sudah berada di sana. Mereka menyuruhku duduk untuk uji kesehatan mata. Di ruangan tersebut, terdapat alat penguji penglihatan. Karena mataku tidak memiliki penyakit, aku pun dinyatakan lulus. Namun, anehnya mengapa hanya mataku yang diperiksa.

Keluar dari ruangan, aku terkejut, karena sepuluh menit aku berada di dalam, keadaan di luar cepat sekali berubah. Antrian yang tadi belum penuh, sekarang penuh sesak. Aku pun berjalan ke ruangan berikutnya, untuk melaksanakan ujian tertulis. Aku mengerjakan ujian dengan empat puluh orang pendaftar lainnya. Aku duduk di kursi yang hanya cukup satu orang. Polisi yang mengawas pun masuk, dan aku beserta pendaftar lainnya hanya diberikan waktu tiga puluh menit.

Selesai mengerjakan, suasana di luar sudah sangat ramai. Beberapa penjual minuman sudah mulai membuka dagangannya. Orang-orang yang lalu-lalang sambil mengerjakan urusan mereka masing-masing, mulai meramaikan tempat tersebut. Aku pun menunggu hasil dari ujian tertulis.

Sekitar dua jam aku menunggu, suasana cepat sekali berubah. Tempat aku menunggu penuh sesak oleh pendaftar yang menunggu namanya dipanggil. Mungkin karena jumlah pendaftar tidak sebanding dengan tempat duduk, beberapa pendaftar duduk lesehan. Aku melihat beberapa orang yang kesal akibat ujian mereka tidak lulus. Namun, betapa senangnya ketika aku menerima hasil, aku dinyatakan lulus.
Jam sudah menunjukan pukul dua belas, aku tahu sekarang saatnya istirahat. Beberapa pedagang mulai dipenuhi pembeli. Minuman, snack, sampai makan besar ada di sana.

“Hmm.. capek ya. Sama, saya juga capek.” Ucapku kepada salah satu pendaftar.

Terlihat orang-orang sangat letih, karena suasana yang semakin lama semakin ramai. Istirahat selesai, aku melanjutkan untuk uji mengendarakan mobil. Setelah membayar, aku langsung mengantri untuk ujian tersebut. Suasana yang berdesak-desakan kulalui dengan sabar. Aku melihat seperti miniatur jalan yang dilengkapi lampu merah, rambu-rambu, dan beberapa marka jalan.

Aku pun diuji dengan mengendarai mobil kijang. Dengan baik aku melewati, ternyata aku dinyatakan tidak lulus.

“Kalau anda ingin cepat, temui Pak Pujo di belakang.” Ujar polisi yang mengujiku.

Di belakang, aku menemui Pak Pujo. Pak Pujo itu mengenakan baju safari berwarna hijau.

“Ohh.. ternyata polisi juga yang merangkap menjadi calo?” Ujarku.

Karena sudah letih, aku pun membayar sebesar Rp75.000,00 kepada orang yang bernama Pak Pujo itu. Dengan mudah ia memberikan surat lulus.

Setelah mendapat surat lulus, aku mengantri untuk pengambilan foto. Jam sudah menunjukan pukul empat sore. Tempat yang tadi penuh sesak, sudah mulai lengang. Beberapa penjual sudah mulai mebereskan dagangan mereka. Polisi-polisi pun satu per satu pulang. Loket-loket sudah ditinggal penjaganya. Setelah mendapatkan SIM, aku pun pulang. Tempat yang tadi penuh sesak, sekarang sangat lengang. Walaupun badanku letih, aku senang karena SIM yang aku inginkan sudah kudapatkan. Sesampainya di rumah, kuceritakan semuanya ke ayah.

“Namanya juga orang Indonesia.” Kata ayah.

Komentar

Postingan Populer