Si Nunuk, Tulang Punggung Keluarga
“Halo, kenalin aku Dhila. Teman baru kamu.” Sapaku kepada seorang yang kupikir gadis berusia sekitar tujuh belas tahun di bawah fly over yang baru beberapa bulan lalu bisa digunakan di bilangan Ciputat. Dia bersama teman-teman lain yang usianya beragam.
“Ohh, iya? Teman baru gua?” Wajar dia sedikit terkejut melihatku yang tiba-tiba menyapanya, tanpa ba bi bu.
“Iya, teman baru kamu.” Aku mencoba meyakinkannya. Keliatannya dia kurang ramah.
“Hmm.. Bentar!” Dia sedikit tidak peduli karena asik bermain bersama teman-temannya. Berisik, aku merasa agak sedikit tidak dihargai dan seperti dianggap tidak ada.
“Hey. Nama kamu siapa?” Aku mencoba bersabar.
“Hah? Nama gua? Nunuk.” Jawab gadis itu sekedarnya (namanya bukan nama sebenarnya, kita sebut saja dengan Nunuk).
“Oya? Nama yang bagus.” Timpalku bohong.
Tanpa bermaksud untuk sombong. Mungkin aku menganggap nama gadis itu jelek karena ulahnya yang benar-benar tak kusuka. Dia juga tidak sopan. Aku tak bisa menyalahkannya. Dia seperti itu karena keadaan pasti. Bukan dia yang memilih hidup di situasi seperti itu.
Setelah kucoba ngobrol dengannya panjang lebar banyak yang kudapatkan darinya.
“Kamu mau nggak ngobrol bentar sama aku?” Tanyaku kepadanya.
“Hmm..” Dia terlihat bingung.
“Boleh, tapi harus beliin gua makanan dulu.” Dia langsung mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya.
“Ohh, okay. Kamu mau apa?” Aku mengiyakan dan langsung bertanya maunya apa. Mungkin dia sudah mulai berpikir bahwa aku itu bukan orang jahat di matanya. Aku berpendapat seperti itu, karena pada awalnya dia melihatku pasti selalu dengan memicingkan mata. Seperti siaga kalau aku akan menyerangnya.
Kami berdua makan soto ayam dengan es teh manis di salah satu warung makan soto dekat pangkalan ojek yang berada di bawah fly over Ciputat itu. Kami berbicara banyak. Dia asli orang betawi. Dia berpesan, kalau tulis namanya dengan nama samaran aja. Sepertinya dia sudah beberapa kali di wawancara seperti ini. Dia juga nggak mau orang-orang tahu wajahnya seperti apa. Tak kutulis detailnya seperti apa, tetapi dia bercerita satu rahasia padaku. Dia sudah tidak gadis lagi sejak umurnya masih dua belas tahun. Laki-laki itu salah satu saudara sepupunya sendiri. Dia dirayu habis-habisan katanya. Sampai terbujuk. Kata Nunuk sedemikian rupa nggak terkesan memperkosa atau diperkosa. Caranya halus banget. Jujur, aku prihatin mendengarnya. Dia bilang jadi tidak bisa terlepas dengan
“Boleh nggak aku ke rumahmu, Nuk?” Tanyaku hati-hati.
“Boleh-boleh aja.” Jawab dia sambil tersenyum.
“Tapi rumahku jelek. Maaf ya. Deket banget kok, dari sini.” Dia menambahkan. Rupanya dia jauh lebih sopan dibandingkan awal-awal aku mencoba untuk berkenalan dengannya. Semacam trauma menyerang, mungkin.
“Bukan itu. Nggak penting, Nuk, jelek ato bagusnya. Yang penting aku bisa ke rumahmu. Aku pengen melihat keluargamu. Aku juga pengen ngenal kamu dengan lihat-lihat rumah kamu. Aku mau bertamu, Nuk.” Jawabku menjelaskan.
“Aku mengerti, kok.” Dia benar-benar berbeda dengan Nunuk yang kukenal beberapa jam yang lalu. Sungguh.
“Ayok.” Katanya.
Saat tiba di rumah Nunuk, yang kulihat hanyalah kasur kapuk double berhadapan kompor minyak tanah, serta peralatan makan sedikit, dan kumpulan make up yang kelihatannya murah juga pakaian-pakaian di sisi kanan atas kasur. Hanya itu. Panjang dan lebarnya mungkin 3 x 4 m. Prihatin sekali, aku melihatnya. Hatiku menjerit, menangis. Benar-benar tidak layak untuk ditinggali tempat ini. Aku sungguh tidak pernah bersyukur, selama ini hidup berkecukupan.
“Adik-adikmu mana, Nuk?” Tanyaku.
“Si Wowok ngamen. Bersama yang lainnya. Hanya untuk mengisi kegiatan aja. Sekolahin Wowok nggak sanggup. Uang makan aja susah. Tapi, Ulfa masih bertahan untuk sekolah. Makanya aku harus ekstra tiap malam.” Nunuk termenung sebentar.
“Aku sih berharap si Ulfa bisa sekolah terus dan jadi orang yang berguna nantinya. Dia itu pintar. Aku masih ngutang untuk bayar sekolahnya Ulfa. Tapi aku bersikeras dia akan membanggakan kita. Yang kupikirkan hanyalah Ulfa. Itulah harapanku. Wowok laki-laki, sudah remaja juga. Dia sudah bisa menjaga diri.” Jelas Nunuk panjang lebar.
Aku tidak bisa berkata-kata, ada orang sebijak Nunuk di tengah kerasnya kehidupan. ‘Aku hanya mendoakan yang terbaik untukmu, Nuk’ ucapku dalam hati. Aku bingung, bangga, prihatin, semuanya campur jadi satu. Benar. Baru kali ini aku ngobrol dengan salah satu dari mereka, anak jalanan. Aku tidak bisa berkata apa-apa, campur aduk rasanya.
Komentar