Saya tentang Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit (Para Komando) Penulis: Hendro Subroto (522 halaman)
Dengan mengambil mata kuliah Sejarah Indonesia yang dibimbing oleh Mas Agus, membuat saya mengetahui lebih detail tentang sejarah Indonesia, baik sebelum ataupun sesudah kemerdekaan bangsa kita. Sebelum saya membahas lebih jauh tentang buku sejarah kontemporer yang setebal 522 halaman ini, saya akan menjelaskan kenapa saya memilih buku ini sebagai acuan dalam tugas akhir saya di mata kuliah Sejarah Indonesia ini. Ada salah satu sahabat saya yang menyampaikan kekesalannya terhadap Prabowo, yang tentu kita tahu bahwa di sebagai salah satu Cawapres Indonesia kemarin. Lucunya, sahabat saya itu awalnya memang sedikit membenci Prabowo, setelah membaca buku ini bencinya makin menjadi-jadi terhadap Prabowo. Saya penasaran terhadap cerita tentang jendral yang bernama lengkap Sintong Hamonangan Panjaitan beserta orang-orang penting Indonesia lainnya seperti Prabowo Subianto yang disuguhkan buku ini. Selain sahabat saya, ayah saya pun juga memiliki reaksi yang sama setelah membaca cerita buku ini. Membeci Prabowo Subianto. Jujur, menurut saya Prabowo Subianto itu impressive.
Sintong Hamonangan Panjaitan juga seorang jendral yang impressive menurut saya. Sintong dan Prabowo ibarat seangkatan. Saya memposisikan diri saya sebagai orang yang netral, maklum politik Indonesia sudah terkenal sangat kotor dan abu-abu dari dulu. Saya akan bercerita sedikit tentang Sintong Hamonangan Panjaitan.
Menurut sumber lain selain buku yang ditulis oleh Hendro Subroto ini Mayor Jenderal (Purn) TNI Sintong Hamonangan Panjaitan yang lahir di Sumatera Utara, 4 September 1940 adalah seorang purnawirawan TNI lulusan Akademi Militer Nasional (kini Akademi Militer) tahun 1963. Sintong menerima sekitar 20 perintah operasi atau penugasan di dalam dan luar negeri selama karir militernya. Pencopotan jabatan Sintong atas dirinya sebagai pangdam akibat Insiden Dili di pemakaman Santa Cruz, 11 November 1991 banyak yang menganggap kejadian itu sebagai awal dari kemunduran karirnya di bidang militer sebelum ia menjadi Purnawirawan dengan pangkat Letnan Jendral.
Sintong mulai mencoba memasuki dunia militer saat mencoba melamar masuk Akademi Angkatan Udara di tahun 1959. Saat Sintong menunggu hasil lamarannya di Akademi Angkatan Udara, Sintong juga mengikuti ujian masuk Akademi Militer Nasional di tahun 1960, dan pertama kalinya Sintong lulus sebagai bagian dari 117 taruna AMN angkatan V. Sintong lulus dari AMN pada tahun 1963 dengan pangkat Letnan Dua. Kemudian Sintong mengikuti sekolah dasar cabang Infantri di Bandung dan lulus pada tanggal 27 Juni 1964. Selanjutnya Sintong ditempatkan sebagai perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elit TNI Angkatan Darat yang kini bernama Komando Pasukan Khusus - Kopassus.
Pada periode Agustus 1964 sampai Februari 1965 Sintong menerima perintah operasi tempur pertamanya di dalam Operasi Kilat penumpasan gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Sejak Februari 1965, Sintong mengikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando Angkatan Darat di Batujajar. Sintong memperoleh atribut Komando di Pantai Permisan pada tanggal 1 Agustus 1965, dan kembali ke Batujajar untuk pendidikan dasar Para dan Sintong mengalami 3 kali terjun. Setelah itu Sintong menerima perintah untuk diterjunkan di Kuching, Serawak, Malaysia Timur sebagai bagian dari Kompi Sukarelawan Pembebasan Kalimantan Utara dalam rangka Konfrontasi Malaysia.
Terjadinya Gerakan 30 September (G30S) membatalkan rencana penerjunan di atas. Sintong sebagai bagian dari Kompi yang berada di bawah pimpinan Lettu Feisal Tanjung kemudian berperan aktif dalam menggagalkan G30S. Sintong memimpin Peleton 1 untuk merebut stasiun / kantor pusat Radio Republik Indonesia (RRI), yang memungkinkan Kapuspen-AD, Brigjen TNI Ibnu Subroto menyiarkan amanat Mayjen TNI Soeharto. Sintong juga turut serta dalam mengamankan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, dan memimpin anak buahnya dalam penemuan sumur tua di Lubang Buaya. Setelah itu Sintong menerima tugas operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di Jawa Tengah, untuk memimpin Peleton 1 di bawah kompi Tanjung beroperasi memberantas pendukung G30S di Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung Merapi.
Pada tahun 1969 Kapten Feisal Tanjung mengikutsertakan Sintong dalam upaya membujuk kepala-kepala suku di Irian Barat untuk memilih bergabung bersama Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat. Berbagai prestasi Sintong di kesatuan khusus TNI-AD ini mengantarkannya ke kursi Komandan Kopassandha di periode 1985-1987, menggantikan Brigjen Wismoyo Arismunandar.
Keterlibatannya dalam operasi militer di daerah Timor Timur kemudian menjadi salah satu penyebab diangkatnya Sintong menjadi Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana yang mencakup Provinsi Timor Timur. Sintong kemudian dicopot dari jabatannya sebagai pangdam akibat Insiden Dili di pemakaman Santa Cruz, 11 November 1991, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Beberapa pihak menyatakan bahwa peristiwa ini turut mengakhiri karir militer Sintong. Akibat keterlibatannya dalam insiden tersebut ia dituntut pada 1992 oleh keluarga seorang korban jiwa dan divonis, pada 1994, untuk membayar ganti rugi sebanyak total 14 juta dollars AS.
Sintong Hamonangan Panjaitan ini adalah seorang Jenderal yang menjadi orang kepercayaan mantan presiden BJ Habibie. Pengalamannya yang banyak berkisar pada operasi tempur mulai dari penumpasan Kahar Muzakar di Sulawesi, Operasi Anti Teror Woyla di Bandara Don Muang serta penumpasan gerilyawan Paraku di Kalimantan Utara dimana Sintong membawahi beberapa sosok populer di militer Indonesia yang sudah ditulis diatas membuatnya menjadi sosok yang cukup layak diperhitungkan.
Jenderal AM Hendropriyono yang merupakan mantan kepala BIN (Badan Intelijen Negara) contohnya, Sintong pernah menjadi anak buah Sintong saat penumpasan Paraku di Kalimantan Utara. Sintong yang kerap dipanggil Batak oleh sosok jenderal kontroversial Leonardus Benny Moerdani merupakan komandan penyerbuan dan pembebasan pesawat Garuda yang dibajak di Bandara Don Muang Thailand. Operasi tersebut sukses, meski menuai sinyalemen adanya campur tangan intelijen, melambungkan nama Sintong dan Kopassus, satuan dimana Sintong cukup banyak terlibat didalamnya.
Menurut saya buku ini menarik bagi para penggemar cerita militer dan kontroversi yang melingkupi para Jenderal. Ternyata untuk memuaskan keingintahuan pembaca, Hendro Subroto, pengarang sekaligus wartawan perang dan militer bahkan menempatkan drama peran dan situasi pencopotan Letjen Prabowo Subianto dari Panglima Kostrad, keanehan situasi saat peristiwa Mei 1998 dan peran Jenderal purn Wiranto pada peristiwa genting yang mengawali kejatuhan mantan Presiden Soeharto ini.
Saat terjadi kerusuhan Mei 1998 contohnya, Sintong mempertanyakan mengapa Jenderal purn Wiranto bersama para pejabat teras ABRI pada tanggal 14 Mei 1998 tetap berangkat ke Magelang untuk mejadi inspektur upacara serah terima PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Divisi II.
Sintong juga mempertanyakan mengapa Jakarta seperti dibiarkan tanpa penjagaan meski pasukan-pasukan garnisun ibu kota sudah siap dan tinggal menunggu perintah.
Disisi lain, Sintong juga mempertanyakan mengapa Prabowo menolak dicopot dari Pangkostrad dan menimbulkan praduga kurang baik karena menempatkan pasukan-pasukan disekitar kediaman BJ Habibie sehingga Habibie yang khawatir dikudeta dan bisa menjadi korban terpaksa mengungsikan keluarganya serta memerintahkan Jenderal Wiranto untuk mencopot Prabowo hari itu juga meski orang kepercayaan Prabowo, yaitu Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR dan Kepala Staff Kostrad Mayjend Kivlan Zen sudah membawa surat dari Jenderal TNI Purn AH Nasution agar Prabowo diangkat sebagai KSAD, Subagyo HS sebagai Panglima TNI dan Wiranto sebagai Menhankam saja (dalam arti kata lain Wiranto dibuat agar tidak punya kendali pasukan)
Ada salah satu pembaca mengatakan kalau membaca buku Sintong untuk bagian kerusuhan Mei 1998 ini memang tidak akan lengkap jika kita sebelumnya belum membaca buku BJ Habibie, “Detik-Detik yang Menentukan”, Buku Wiranto “Bersaksi Ditengah Badai” dan buku Kivlan Zen bertajuk “Konflik dan Integrasi TNI AD”. Dia memang menyukai dunia militer sehingga dia membeli buku-buku tersebut dan akhirnya menarik kesimpulan sendiri mengenai peran masing-masing dalam drama kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada tewasnya ratusan orang, porak porandanya Jakarta dan jatuhnya Presiden Soeharto.
Menristek Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie juga menunjuk Sintong sebagai penasihat bidang militer di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1994. Sejak saat itu Sintong menjadi penasihat kepercayaan Habibie hingga Habibie menjadi Presiden Indonesia di tahun 1998 dimana Sintong duduk sebagai penasihat Presiden di bidang Militer. Sebuah sumber menyatakan bahwa Habibie berdiskusi secara mendalam dengan Sintong, Jendral Wiranto (Panglima ABRI dan Menhankam) dan Yunus Yosfiah (Menteri Penerangan) sebelum mengijinkan referendum Timor Timur bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan apakah Timor Timur akan tetap bergabung dalam Republik Indonesia atau menjadi negara sendiri
Dalam buku ini yang menarik lainnya adalah adanya kisah mengenai Prabowo Subianto saat masih menjadi Kapten di Kopassus dan menjadi anak buah Letjen Purn Luhut Panjaitan (mantan Menteri Perindustrian dan Dubes RI di Singapura), yaitu tentang rencana Prabowo menangkap LB Moerdani dengan dugaan kudeta terhadap Presiden Soeharto. Kisah ini menarik karena melatar belakangi permusuhan antara Prabowo dengan orang terkuat kedua di Indonesia dimasa tahun 80-an tersebut. Kisah ini juga menarik karena bisa menjadi rujukan mengapa LB Moerdani yang menjadi orang kepercayaan presiden Soeharto tiba-tiba terpaksa dicopot dari posisinya sebagai Panglima ABRI dan digantikan Jenderal TNI Tri Sutrisno menjelang Sidang Umum MPR 1088.
Bagi penggemar buku militer dan kisah-kisah TNI, buku Sintong Panjaitan ini cukup layak dikoleksi. Paling anda yang membaca jadi tambah bingung mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah dari orang-orang yang berperan dimasa kritis Mei 1998. Saya sarankan bersifat objektiflah saat membaca buku ini.
Kekurangan dari buku ini Hendro Subroto selaku penulis yaitu adanya kesan memaksakan diri Sintong Panjaitan sebagai sosok yang paling berjasa di berbagai lokasi pertempuran. Kesan ini sebenarnya bisa ditepis jika Hendro Subroto tidak secara vulgar selalu menjadikan Sintong sebagai sosok nomor satu disetiap pertempuran dan memberikan ruang yang cukup bagi sosok yang lain. Jika hal ini dilakukan, semestinya jasa Sintong tetap dikenal tanpa harus menjadi jagoan tanpa pilih tanding. Kata yang cocok adalah terlalu subjektif. Hendro Subroto terlalu Subjektif dengan Prabowo Subianto. Menurut saya Prabowo ataupun Sintong tetap memiliki kapasitas masing-masing. Maka dari itu buku ini menuai kontroversi karena menuduh Prabowo Subianto yang pada Maret 1983 berpangkat kapten hendak melakukan upaya kudeta dengan menculik beberapa perwira tinggi ABRI. Buku yang diterbitkan menjelang Pemilu Legislatif 2009 itu memberikan kredit kepada Luhut Panjaitan yang waktu itu berpangkat mayor yang disebutkan menggagalkan upaya yang mengarah kepada kudeta tersebut.
Sintong Hamonangan Panjaitan juga seorang jendral yang impressive menurut saya. Sintong dan Prabowo ibarat seangkatan. Saya memposisikan diri saya sebagai orang yang netral, maklum politik Indonesia sudah terkenal sangat kotor dan abu-abu dari dulu. Saya akan bercerita sedikit tentang Sintong Hamonangan Panjaitan.
Menurut sumber lain selain buku yang ditulis oleh Hendro Subroto ini Mayor Jenderal (Purn) TNI Sintong Hamonangan Panjaitan yang lahir di Sumatera Utara, 4 September 1940 adalah seorang purnawirawan TNI lulusan Akademi Militer Nasional (kini Akademi Militer) tahun 1963. Sintong menerima sekitar 20 perintah operasi atau penugasan di dalam dan luar negeri selama karir militernya. Pencopotan jabatan Sintong atas dirinya sebagai pangdam akibat Insiden Dili di pemakaman Santa Cruz, 11 November 1991 banyak yang menganggap kejadian itu sebagai awal dari kemunduran karirnya di bidang militer sebelum ia menjadi Purnawirawan dengan pangkat Letnan Jendral.
Sintong mulai mencoba memasuki dunia militer saat mencoba melamar masuk Akademi Angkatan Udara di tahun 1959. Saat Sintong menunggu hasil lamarannya di Akademi Angkatan Udara, Sintong juga mengikuti ujian masuk Akademi Militer Nasional di tahun 1960, dan pertama kalinya Sintong lulus sebagai bagian dari 117 taruna AMN angkatan V. Sintong lulus dari AMN pada tahun 1963 dengan pangkat Letnan Dua. Kemudian Sintong mengikuti sekolah dasar cabang Infantri di Bandung dan lulus pada tanggal 27 Juni 1964. Selanjutnya Sintong ditempatkan sebagai perwira pertama Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elit TNI Angkatan Darat yang kini bernama Komando Pasukan Khusus - Kopassus.
Pada periode Agustus 1964 sampai Februari 1965 Sintong menerima perintah operasi tempur pertamanya di dalam Operasi Kilat penumpasan gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Sejak Februari 1965, Sintong mengikuti pendidikan dasar komando di Pusat Pendidikan Para Komando Angkatan Darat di Batujajar. Sintong memperoleh atribut Komando di Pantai Permisan pada tanggal 1 Agustus 1965, dan kembali ke Batujajar untuk pendidikan dasar Para dan Sintong mengalami 3 kali terjun. Setelah itu Sintong menerima perintah untuk diterjunkan di Kuching, Serawak, Malaysia Timur sebagai bagian dari Kompi Sukarelawan Pembebasan Kalimantan Utara dalam rangka Konfrontasi Malaysia.
Terjadinya Gerakan 30 September (G30S) membatalkan rencana penerjunan di atas. Sintong sebagai bagian dari Kompi yang berada di bawah pimpinan Lettu Feisal Tanjung kemudian berperan aktif dalam menggagalkan G30S. Sintong memimpin Peleton 1 untuk merebut stasiun / kantor pusat Radio Republik Indonesia (RRI), yang memungkinkan Kapuspen-AD, Brigjen TNI Ibnu Subroto menyiarkan amanat Mayjen TNI Soeharto. Sintong juga turut serta dalam mengamankan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, dan memimpin anak buahnya dalam penemuan sumur tua di Lubang Buaya. Setelah itu Sintong menerima tugas operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di Jawa Tengah, untuk memimpin Peleton 1 di bawah kompi Tanjung beroperasi memberantas pendukung G30S di Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta hingga lereng timur Gunung Merapi.
Pada tahun 1969 Kapten Feisal Tanjung mengikutsertakan Sintong dalam upaya membujuk kepala-kepala suku di Irian Barat untuk memilih bergabung bersama Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat. Berbagai prestasi Sintong di kesatuan khusus TNI-AD ini mengantarkannya ke kursi Komandan Kopassandha di periode 1985-1987, menggantikan Brigjen Wismoyo Arismunandar.
Keterlibatannya dalam operasi militer di daerah Timor Timur kemudian menjadi salah satu penyebab diangkatnya Sintong menjadi Panglima Komando Daerah Militer IX/Udayana yang mencakup Provinsi Timor Timur. Sintong kemudian dicopot dari jabatannya sebagai pangdam akibat Insiden Dili di pemakaman Santa Cruz, 11 November 1991, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Beberapa pihak menyatakan bahwa peristiwa ini turut mengakhiri karir militer Sintong. Akibat keterlibatannya dalam insiden tersebut ia dituntut pada 1992 oleh keluarga seorang korban jiwa dan divonis, pada 1994, untuk membayar ganti rugi sebanyak total 14 juta dollars AS.
Sintong Hamonangan Panjaitan ini adalah seorang Jenderal yang menjadi orang kepercayaan mantan presiden BJ Habibie. Pengalamannya yang banyak berkisar pada operasi tempur mulai dari penumpasan Kahar Muzakar di Sulawesi, Operasi Anti Teror Woyla di Bandara Don Muang serta penumpasan gerilyawan Paraku di Kalimantan Utara dimana Sintong membawahi beberapa sosok populer di militer Indonesia yang sudah ditulis diatas membuatnya menjadi sosok yang cukup layak diperhitungkan.
Jenderal AM Hendropriyono yang merupakan mantan kepala BIN (Badan Intelijen Negara) contohnya, Sintong pernah menjadi anak buah Sintong saat penumpasan Paraku di Kalimantan Utara. Sintong yang kerap dipanggil Batak oleh sosok jenderal kontroversial Leonardus Benny Moerdani merupakan komandan penyerbuan dan pembebasan pesawat Garuda yang dibajak di Bandara Don Muang Thailand. Operasi tersebut sukses, meski menuai sinyalemen adanya campur tangan intelijen, melambungkan nama Sintong dan Kopassus, satuan dimana Sintong cukup banyak terlibat didalamnya.
Menurut saya buku ini menarik bagi para penggemar cerita militer dan kontroversi yang melingkupi para Jenderal. Ternyata untuk memuaskan keingintahuan pembaca, Hendro Subroto, pengarang sekaligus wartawan perang dan militer bahkan menempatkan drama peran dan situasi pencopotan Letjen Prabowo Subianto dari Panglima Kostrad, keanehan situasi saat peristiwa Mei 1998 dan peran Jenderal purn Wiranto pada peristiwa genting yang mengawali kejatuhan mantan Presiden Soeharto ini.
Saat terjadi kerusuhan Mei 1998 contohnya, Sintong mempertanyakan mengapa Jenderal purn Wiranto bersama para pejabat teras ABRI pada tanggal 14 Mei 1998 tetap berangkat ke Magelang untuk mejadi inspektur upacara serah terima PPRC (Pasukan Pemukul Reaksi Cepat) dari Divisi I ke Divisi II.
Sintong juga mempertanyakan mengapa Jakarta seperti dibiarkan tanpa penjagaan meski pasukan-pasukan garnisun ibu kota sudah siap dan tinggal menunggu perintah.
Disisi lain, Sintong juga mempertanyakan mengapa Prabowo menolak dicopot dari Pangkostrad dan menimbulkan praduga kurang baik karena menempatkan pasukan-pasukan disekitar kediaman BJ Habibie sehingga Habibie yang khawatir dikudeta dan bisa menjadi korban terpaksa mengungsikan keluarganya serta memerintahkan Jenderal Wiranto untuk mencopot Prabowo hari itu juga meski orang kepercayaan Prabowo, yaitu Danjen Kopassus Mayjen Muchdi PR dan Kepala Staff Kostrad Mayjend Kivlan Zen sudah membawa surat dari Jenderal TNI Purn AH Nasution agar Prabowo diangkat sebagai KSAD, Subagyo HS sebagai Panglima TNI dan Wiranto sebagai Menhankam saja (dalam arti kata lain Wiranto dibuat agar tidak punya kendali pasukan)
Ada salah satu pembaca mengatakan kalau membaca buku Sintong untuk bagian kerusuhan Mei 1998 ini memang tidak akan lengkap jika kita sebelumnya belum membaca buku BJ Habibie, “Detik-Detik yang Menentukan”, Buku Wiranto “Bersaksi Ditengah Badai” dan buku Kivlan Zen bertajuk “Konflik dan Integrasi TNI AD”. Dia memang menyukai dunia militer sehingga dia membeli buku-buku tersebut dan akhirnya menarik kesimpulan sendiri mengenai peran masing-masing dalam drama kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada tewasnya ratusan orang, porak porandanya Jakarta dan jatuhnya Presiden Soeharto.
Menristek Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie juga menunjuk Sintong sebagai penasihat bidang militer di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tahun 1994. Sejak saat itu Sintong menjadi penasihat kepercayaan Habibie hingga Habibie menjadi Presiden Indonesia di tahun 1998 dimana Sintong duduk sebagai penasihat Presiden di bidang Militer. Sebuah sumber menyatakan bahwa Habibie berdiskusi secara mendalam dengan Sintong, Jendral Wiranto (Panglima ABRI dan Menhankam) dan Yunus Yosfiah (Menteri Penerangan) sebelum mengijinkan referendum Timor Timur bagi rakyat Timor Timur untuk menentukan apakah Timor Timur akan tetap bergabung dalam Republik Indonesia atau menjadi negara sendiri
Dalam buku ini yang menarik lainnya adalah adanya kisah mengenai Prabowo Subianto saat masih menjadi Kapten di Kopassus dan menjadi anak buah Letjen Purn Luhut Panjaitan (mantan Menteri Perindustrian dan Dubes RI di Singapura), yaitu tentang rencana Prabowo menangkap LB Moerdani dengan dugaan kudeta terhadap Presiden Soeharto. Kisah ini menarik karena melatar belakangi permusuhan antara Prabowo dengan orang terkuat kedua di Indonesia dimasa tahun 80-an tersebut. Kisah ini juga menarik karena bisa menjadi rujukan mengapa LB Moerdani yang menjadi orang kepercayaan presiden Soeharto tiba-tiba terpaksa dicopot dari posisinya sebagai Panglima ABRI dan digantikan Jenderal TNI Tri Sutrisno menjelang Sidang Umum MPR 1088.
Bagi penggemar buku militer dan kisah-kisah TNI, buku Sintong Panjaitan ini cukup layak dikoleksi. Paling anda yang membaca jadi tambah bingung mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah dari orang-orang yang berperan dimasa kritis Mei 1998. Saya sarankan bersifat objektiflah saat membaca buku ini.
Kekurangan dari buku ini Hendro Subroto selaku penulis yaitu adanya kesan memaksakan diri Sintong Panjaitan sebagai sosok yang paling berjasa di berbagai lokasi pertempuran. Kesan ini sebenarnya bisa ditepis jika Hendro Subroto tidak secara vulgar selalu menjadikan Sintong sebagai sosok nomor satu disetiap pertempuran dan memberikan ruang yang cukup bagi sosok yang lain. Jika hal ini dilakukan, semestinya jasa Sintong tetap dikenal tanpa harus menjadi jagoan tanpa pilih tanding. Kata yang cocok adalah terlalu subjektif. Hendro Subroto terlalu Subjektif dengan Prabowo Subianto. Menurut saya Prabowo ataupun Sintong tetap memiliki kapasitas masing-masing. Maka dari itu buku ini menuai kontroversi karena menuduh Prabowo Subianto yang pada Maret 1983 berpangkat kapten hendak melakukan upaya kudeta dengan menculik beberapa perwira tinggi ABRI. Buku yang diterbitkan menjelang Pemilu Legislatif 2009 itu memberikan kredit kepada Luhut Panjaitan yang waktu itu berpangkat mayor yang disebutkan menggagalkan upaya yang mengarah kepada kudeta tersebut.
Komentar