Satu Rahasia Patung Roma

Tanggal 15 November 2007. Udaranya dingin. Angin bertiup sangat kencang. Aku masih di rumah salah satu kerabatku di Pisa, Itali. Mencoba memesan satu kamar hotel dengan online booking. Aku ingin memesan satu kamar hotel yang letaknya tidak jauh dari stasiun pusat kota Roma. Aku menggunakan subway besok pagi.

Kukenakan sepatu boot coklatku yang panjang hingga di bawah lutut. Kuambil tas selempang ijo lumutku yang cukup besar memuat beberapa baju dan perabotan lainnya. Kurapikan coat coklat, sweater berwarna khaki sebagai dalaman dan celana corduroy panjang hijau mudaku, sebelum bergegas ke stasiun Pisa. Aku menambahkan lipgloss bernuansa oranye di bibirku yang penuh setelah kuratakan wajahku dengan compact powder The Body Shopku. Aku berangkat. Tak lupa pamit kepada kerabatku yang telah berbaik hati meminjamkan satu kamar tidurnya.

Aku sampai di stasiun pusat kota Roma. Sesampainya di Roma waktu menunjukkan pukul 08.00 waktu sana. Aku sempat membeli macchiato cappuccino hangat di kedai kecil depan pintu gerbang stasiun. Aku memilih macchiato karena rasa kantuk terus menyerang. Ditambah angin dingin yang menyapaku lembut. Rasanya ingin rebahan saja di double spring bed kamarku yang hangat di Jakarta. Tidak mungkin terjadi detik ini, karena aku sadar betul bahwa jaraknya beribu-ribu mil.

Aku membuka pintu kamar yang sudah ku-booking dengan kunci kamar hotel yang diberikan resepsionisnya. Hotelnya sederhana, tetapi bersih. Banyak patung-patung kecil bersejarah menyapaku. Roma. Impianku tercapai sudah untuk menginjakkan kakiku di sini. Kukumpulkan uang hasil kerjaku selama bertahun-tahun. Cuma apa daya, aku harus menjadi orang miskin di sini. Dari semua itu yang terpenting adalah aku bisa menghirup udara di Roma, Itali detik ini.

Aku keluar hotel. Aku ingin melihat-lihat objek wisata yang ada di Roma. Tak lama aku keluar pintu gerbang hotel, angin terasa lebih dingin, mencekam. Udaranya sungguh aneh. Langit berwarna kelabu. Nafasku menggelora. Asap dari mulut dan hidungku keluar masuk. Jantungku berdegup kencang. Ini bukan suasana Itali yang kudambakan. Orang-orang disekitar tak berpakaian seperti aku. Tidak seperti manusia pada umumnya. Warna kulit mereka sama dengan pakaian yang mereka kenakan, menyatu. Warna kulit mereka berbeda-beda. Ada yang putih ke-khakian, ato abu-abu muda sekali. Mereka semua lalu-lalang. Menghancurkan area Gladiator yang sebenarnya sudah berupa reruntuhan peninggalan kerajaan Romawi. Tempat ini terkenal dengan penjara bawah tanahnya dan juga tiang-tiang tinggi khas peninggalan masa itu. Semua hancur lebur. Porak Poranda.

Roma yang kaya akan pohon-pohon hijaunya, semua dicabut satu persatu. Saat tubuhku menghadap ke arah Colloseum, aku terkejut setengah mati. Tempat pertarungan antara manusia dan manusia atau manusia dan hewan ini, seperti dibom. Sudah tidak ada bentuknya. Orang-orang itu sepertinya patung-patung kuno yang tertata rapi di setiap sudut jalan Roma. Mengapa semua ini terjadi? Mereka hancurkan Roma. Akan tetapi membiarkanku hidup tersiksa di sini dengan melihat mereka memporak porandakan Roma. Menginjak-injak seluruh tanaman yang berada di pinggiran kolam ataupun tempat duduk-duduk para wisatawan asing.

Sekian lama aku melihat kejadian ini, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku.

“Hey, Dhila. Sudah lama di sini?” Katanya seraya merapikan topi fedoranya yang warnanya sama dengan kulit wajahnya.

Komentar

Postingan Populer